Agama sebagai obyek studi
Di kalangan kaum
akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak hanya dipandang
sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau
sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai
suatu case study, studi kasus yang
menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam
perspektif budaya, agama dilihat bagaimana yang ilahi itu menghistoris
(menyejarah) di dalam praktek tafsir dan tindakan sosial. Sehingga dengan
demikian agama bukannya sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis
karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat, dan dirasakan. Terlebih di
dalam masyarakat yang agamis seperti Indonesia, yang menempatkan agama
sebagai bagian dari identitas keindonesiaan tentu ada banyak problem keagamaan
yang menarik untuk diungkap. Kita tidak akan pernah tahu rahasia agama dan
keberagamaan masyarakat bila kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian,
seperti mengapa seseorang itu menjadi sangat militan dengan ajaran agama dan
madzhabnya, atau mengapa antar komunitas agama saling berkonflik dan
seterusnya.
Sekalipun agama
di barat dicampakkan dengan gelombang sekularisme, namun bukan berarti ilumuwan
barat menafikan kajian agama. Justru
mereka sangat giat melakukan kajian agama karena diberbagai belahan dunia
lainnya agama ikut mempengaruhi jalannya masyarakat, demikian juga pertumbuhan
masyarakat ikut mempengaruhi pemikiran terhadap agama (Ali, 22;2000). Banyak
studi telah dihasilkan oleh ilmuwan barat yang sampai sekarang menjadi rujukan
banyak pihak, seperti kajian ‘Etika Protestan’ karya Marx Weber, yang di dalamnya
mengurai bagaimana ajaran agama di dalam komunitas calvinisme memberikan andil
yang besar pada pertumbuhan kapitalisme. Para
penganut calvinisme di dalam agama protestan memiliki etos ekonomi yang sangat
luar biasa sehingga sulit menemukan pengikut ajaran calvin yang miskin. Kajian
Weber atas kasus ini menjadi teori besar yang banyak dipakai sebagai rujukan
untuk melihat fenomena agama di timur dan di barat. Dengan diinspirasi oleh
teori Weber, Mohammad Sobary--- peneliti LIPI dan kolomnis ternama di tanah
air---melakukan kajian di Suralaya Jawa Barat dan telah diterbitkan oleh
Bentang Yogyakarta dengan judul “Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial”
memberikan uraian yang cukup baik tentang etos kerja keras masyarakat Surelaya dalam
berusaha karena ingin mengamalkan rukun islam kelima, yakni menunaikan ibadah haji
ke Makkah sebagai panggilan (ajaran) agama. Saya sendiri pernah melakukan
penelitian dan dibukukan oleh penerbit Pustaka Marwa (2003) dengan judul
“Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai rezim kembar di
Madura”. Dengan menggunakan pendekatan teori hegemoni Gramsci, buku itu
mengurai bagaimana tafsir hegemonik atas agama dapat menciptakan kuasa. Agama
digunakan sebagai instrumen untuk mengokohkan status sosial dan pencapaian
kuasa atas berbagai jabatan publik di dalam masyarakat dan pemerintahan oleh
elite agama.
Berbagai kajian
di atas setidaknya cukup memberi landasan pada kita bahwasannya agama memiliki
tempat tersendiri di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Tentu masih banyak lagi
kajian-kajian tentang agama yang dapat kita baca, baik hasil penelitian yang
dilakukan oleh para intelektual barat, intelektual islam dan intelektual indonesia
sendiri. Untuk mempermudah kita melakukan pemetaan atas berbagai kajian atau
penelitian agama, ada tiga tipe kajian agama yang dilakukan oleh para sosiolog,
seperti yang telah diungkapkan oleh Robert N. Bellah di dalam bukunya, “Beyond Belief : Essays on Religion in a
Post-Tradisionalist World”, yakni 1) mereka mengkaji agama sebagai
persoalan teoretis yang utama dalam memahami tindakan sosial 2) mereka menelaah
kaitan antara agama dan berbagai wilayah kehidupan sosial lainnya, seperti
ekonomi, politik dan kelas sosial.3) mempelajari peran, organisasi dan
gerakan-gerakan keagamaan.
Soal Metode
Motode memiliki
peran yang signifkan dalam suatu penelitian. Penelitian yang baik biasanya
tidak hanya dilihat dari topiknya semata, tapi juga metode yang digunakan,
selain sejauhmana sang peneliti mampu menterjemahkan metode itu secara baik di
lapangan atau pun dalam proses penulisan. Secara sederhana metode adalah cara atau jalan bagaimana kita mengungkapkan suatu
permasalahan melalui penelitian. Secara umum ada dua metode di dalam dunia
penelitian, yakni kualitatif dan kuantitatif.[1]
Masing-masing memiliki ragam dan corak tersendiri.
Kalau kualitatif
lebih memperhatikan unsur kedalaman, seperti corak penelitian deskripsi (descriptive research). Model penelitian
thick diskripsi, yakni
mendeskripsikan masalah secara mendalam ini di Indonesia
dipopulerkan oleh Clifford Geerzt yang telah melakukan banyak penelitian di
Jawa dan Bali. Kaum antropolog umumnya menggunakan model thick deskripsi ini. Dalam penelitian jenis
deskriptif tidak ada hipotesa-hipotesa karena ia ingin mengungkap suatu fenomena
di dalam masyarakat secara mendalam sampai keakar-akarnya. World view individu dan komunitas diungkap secara mendalam sehingga
pikiran dan tindakannya diberi makna dan arti.
Adapun metode
kualitatif lebih memperhatikan pada jumlah, angka-angka yang bersifat
statistik. Hipotesis menjadi sesuatu yang penting dalam model kualitatif karena
bermaksud melakukan verifikasi. Contoh sederhana metode kualitatif ini adalah
model polling atau jejak pendapat. Di situ angka-angka (statistik) menjadi
sesuatu yang penting di dalam analisis.
Namun di dalam
penelitian agama yang paling dominan digunakan adalah metode kualitatif. Mengingat
fenomena keagamaan tidak hanya sesuatu yang bersifat fisik, tapi juga adanya
pergolakan ruang batin terdalam. Ada
juga yang memadukan unsur keduanya, sekalipun itu sangat jarang sekali.
Bagaimana
langkah praktis untuk memulai melakukan penelitian agama ini? Langkah-langkah
yang perlu dilakukan adalah 1).tentukan isu keagamaan yang mau diteliti 2) buat
rumusan masalah (research question).
3). Cari metode yang sesuai atau cocok dengan rumusan masalah yang dibuat dan
jelaskan langkah-langkahnya. Misalkan, metodenya kualitatif, modelnya
deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview), klipingan koran,
arsip dan pustaka atau literatur. 4). Bisa juga dengan mencari teori atau
konsep yang sesuai atau cocok dengan topik yang hendak kita teliti. Perlu
ditekankan disini teori bukanlah segalanya, fungsi teori dalam penelitian
hanyalah sebagai alat bantu agar memudahkan kita dalam membaca dan menganalisis
masalah.
Manfaat Kajian
Banyak hal yang
dapat kita peroleh dari upaya melakukan penelitian keagamaan. Diantaranya
adalah pertama, dapat membawa kita memahami agama secara kritis, tidak
taklid dan menerima begitu saja suatu
ajaran atau doktrin. Kedua, dapat mengungkap suatu fenomena
tentang keanekaragamaan tafsir agama, konteks nilai yang diperjuangkan dan
sejenisnya. Ketiga, memahami kecenderungan perilaku umat dalam menafsirkan
dan mempraktekkan (ajaran) keagamaan.
Semakin banyak
kajian-kajian akademis atas fenomena keagamaan dan disertai pula dengan
publikasi yang meluas di tengah masyarakat maka akan mampu pula mencerdaskan
cara beragama masyarakat. Beragaama yang kritis pada akhirnya akan dapat
membawa agama sebagai elemen pembebas melawan praktek pembodohan dan pemiskinan
ide atau gagasaan.
[1] Uraian tentang metode disini lebih lanjut lebih diorientasikan
dalam suatu penelitian sosial (lapangan), bukannya kajian pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar